Senin, 20 Oktober 2014

Qawa'id Kulliyah

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

            Dengan mempertimbangkan hukum positif yang berlaku serta adat kebiasaan yang dianut masyarakat dan hasil kajian historis-sosiologis maka perlu sekali dikembangkan konsep-konsep hukum yang Islami yang bersumberkan pada al-Qur’an, hadits Rasulullah yang shahih sebagai sumber naqli ilmu pengetahuan hukum, sebagai sumber ijtihadi serta hasil musyawarah dari para ahlinya. Bagi kita yang sekarang sedang melaksanakan pembangunan, maka pengkajian konsep Islam tentang tata hukum dan perkembangan fiqih akan dapat memberikan bahan masukan dapat menghadapi tantangan masa depan pembangunan termasuk dampak negatif dalam bidang kemasyarakatan yang menyertainya.
            Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi. Bahkan Ibnu Abidin (w.1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w. 970 H) dalam kitab al-asybah wa al-nazhair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari padanya hukum. Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi di dalam kitabnya al-asybah wa al-nazhair, mendefinisikan kaidah adalah Hukum kulli (menyeluruh, general) yang meliputi bagian-bagiannya. [1]



BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Qawâ’id Al-Kulliyah
            Al- Qawâ’id merupakan jamak dari qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah secara etimologi (asal usul kata) dan terminologi (istilah). Dalam arti bahasa, qaidah bermakna asas, dasar, atau fondasi, baik dalam arti yang konkret maupun yang abstrak, seperti kata-kata qawâ’id al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawâ’id al-dîn, artinya dasar-dasar agama, qawâ’id al-îlm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti ini digunakan di dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 127 dan surat An-Nahl ayat 26 berikut ini:
Artinya: Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS. Al-Baqarah: 127).
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan makar, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah adzab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari (QS. An-Nahl: 26).

            Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas atau fondasi, tempat yang diatasnya berdiri bangunan.[2]
            Pengertian kaidah semacam ini terdapat pula dalam ilmu-ilmu yang lain, misalnya dalam ilmu nahwu/grammer bahasa arab, seperti maf’ul itu manshub dan fa’il itu marfu’. Dari sini ada unsur penting dalam kaidah yaitu hal yang bersifat kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya.[3]

            Sedangkan dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah: "Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak". Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan : "Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya".[4]
            Kaidah-kaidah fiqh dapat dikatagorikan menjadi dua jenis. Pertama, kaidah yang benar-benar asli dari segi kediriannya (al-ashl fi dzatihi) dan bukan cabang dari sebuah kaidah fiqh yang lain. Kedua, kaidah yang merupakan subdividen (cabang) dari yang lain. Jenis pertama disebut sebagai kaidah-kaidah fiqh induk, sedangkan jenis yang kedua disebut sebagai kaidah-kaidah makro (al-qawa’id al-fiqhiyyah al-kulliyyah), sebab ia masuk di bawah klasifikasi kaidah-kaidah fiqh induk dan ia menghasilkan cabang-cabang masalah fiqh yang sangat banyak dan tidak terhitung jumlahnya dari segi cakupan objek pembahasannya.[5]
            Qawa’id Al-Kulliyah yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima oleh madzhab-madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada qawa’id yang lalu. Seperti kaidah : al-Kharaju bi adh-dhaman / Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian, dan kaidah : adh-Dharar al- Asyaddu yudfa’ bi adh-Dharar al-Akhaf Bahaya yang lebih besar dihadapi dengan bahaya yang lebih ringan.[6]

B.   Hukum Qawâ’id Al-Kulliyah
Secara lebih rinci hukum kulli ini bisa diklasifikasikan menjadi dua:
1.        Qa’idah Kulliyyah
Qa'idah Kulliyyah (kaidah global) adalah hukum syara', yang kepadanya berlaku batasan-batasan hukum syara' sebagai khithab Allah. Hanya disebut demikian, karena disandarkan kepada lafadz-Nya, yang berbentuk kulli, dan bukan kepada khithab-Nya. Namun demikian, masing-masing dihasilkan melalui dalil-dalil syara'.
Artinya: “Sesuatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu tadi hukumnya menjadi wajib”.
      
       Adalah hukum kulli atau qa'idah kulliyah, yang digali dari dalalah al-iltizam (indikasi kausalitas) seruan pembuat syariat yang manthuq (makna tersurat)-nya menunjukkan adanya kewajiban. Artinya, jika ada seruan pembuat syariat menunjukkan wajibnya urusan tertentu, maka seruan yang sama juga dengan dalalah al-iltizâm (indikasi kausalitas) sebenarnya telah menunjukkan bahwa kewajiban tersebut tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu tadi hukumnya menjadi wajib .
Contoh lain kaidah kulli yang digali dari firman Allah.
Artinya: Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan (QS. Al-An'am: 108).

2.        Ta'rif Syar'i Kulli
Ta'rif syar'i juga merupakan hukum syara', karena digali dari khithab pembuat syariat. Ia juga merupakan makna (madlul) dari seruan pembuat syariat. Ia berbeda dengan kaidah, karena ta'rif merupakan deskripsi realitas hukum. Meskipun masing-masing disebut hukum kulli, karena lafadz yang menjadi sandarannya berbentuk kulli. Dalam hal ini, ta'rif syar'i bisa diklasifikasikan menjadi:
         a.          Deskripsi hukum itu sendiri, yaitu definisi syara' yang mendeskripsikan hukum itu sendiri. Misalnya definisi Ijarah (kontrak jasa), yaitu akad terhadap jasa tertentu dengan sebuah kompensasi. Definisi ini menjelaskan hukum ijarah sebagai hukum syara' taklifi yang mubah, karena itu dikatakan bahwa definisi tersebut menjelaskan hukum itu sendiri. Ini digali dari nash al-Qur'an:
Artinya: Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya (QS. At-Thalaq: 6).
b. Deskripsi perkara yang dituntut oleh hukum, dimana perkara tersebut menjadi sandaran terealisasikannya hukum, atau sandaran kesempurnaannya. Misalnya, definisi mengenai 'Azîmah dan Rukhshah.[7]
            Sebab utama para ulama membukukan kaidah-kaidah kulliyah, karena para muhaqqiqin telah mengembalikan segala masalah fiqh kepada kaidah-kaidah kulliyah. Tiap-tiap kaidah itu, menjadi dhabith dan pengumpul bagi banyak masalah. Kaidah-kaidah tersebut diterima oleh segala pihak, diiktibarkan dan dijadikan dalil untuk menetapkan masalah.[8]





BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan

1.    Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi. Bahkan Ibnu Abidin (w.1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w. 970 H) dalam kitab al-asybah wa al-nazhair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari padanya hukum. Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi di dalam kitabnya al-asybah wa al-nazhair, mendefinisikan kaidah adalah Hukum kulli (menyeluruh, general) yang meliputi bagian-bagiannya.
2.    Dari segi terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah: "Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak". Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan : "Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya".
3.    Qawa’id Al-Kulliyah yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima oleh madzhab madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada qawa’id yang lalu.




         [1] http://gudangmakalahmu.blogspot.com/2012/12/makalah-qawaid-al-kulliyah.html diakses pada tanggal 20 Maret 2014
          [2] http://arjonson-abd.blogspot.com/2009/08/qawaid-fiqhiyyah-dan-qawaid-ushuliyyah.html diakses pada tanggal 20 Maret 2014
            [3] Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 2
            [4] robidarmawan.blogpot.com/2010/10-makalah-kaidah-fiqih.html diakses pada tanggal 20 Maret 2014
            [5] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009), hlm. 2
            [6] ahmadhani032.blogspot.com/2013/05/kaidah-kulliyah-fiqiyah.html diakses pada tanggal 20 Maret 2014
            [7] www.makalahkuliah.com/2012/06/hukum-kulli.html diakses pada tanggal 20 Maret 2014
            [8] edyanto56.blogspot.com/2012/07/kaidah-kaidah-fiqh-pokok.html?m=1 diakses pada tanggal 20 Maret 2014

2 komentar:

  1. Bet9ja - Youtube - videodl.cc
    Bet9ja. Bet9ja is the official betting platform in South Africa. How Bet9ja works: 유튜브 Online gambling platforms allow you to gamble

    BalasHapus