BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan mempertimbangkan hukum
positif yang berlaku serta adat kebiasaan yang dianut masyarakat dan hasil
kajian historis-sosiologis maka perlu sekali dikembangkan konsep-konsep hukum
yang Islami yang bersumberkan pada al-Qur’an, hadits Rasulullah yang shahih
sebagai sumber naqli ilmu pengetahuan hukum, sebagai sumber ijtihadi serta
hasil musyawarah dari para ahlinya. Bagi kita yang sekarang sedang melaksanakan
pembangunan, maka pengkajian konsep Islam tentang tata hukum dan perkembangan
fiqih akan dapat memberikan bahan masukan dapat menghadapi tantangan masa depan
pembangunan termasuk dampak negatif dalam bidang kemasyarakatan yang
menyertainya.
Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H)
mendefinisikan kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian
yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi.
Bahkan Ibnu Abidin (w.1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w. 970 H)
dalam kitab al-asybah wa al-nazhair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu
adalah sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari padanya hukum.
Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi di dalam
kitabnya al-asybah wa al-nazhair, mendefinisikan kaidah adalah Hukum kulli
(menyeluruh, general) yang meliputi bagian-bagiannya. [1]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qawâ’id
Al-Kulliyah
Al- Qawâ’id merupakan
jamak dari qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah secara
etimologi (asal usul kata) dan terminologi (istilah). Dalam arti bahasa, qaidah
bermakna asas, dasar, atau fondasi, baik dalam arti yang konkret maupun yang
abstrak, seperti kata-kata qawâ’id al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawâ’id
al-dîn, artinya dasar-dasar agama, qawâ’id al-îlm, artinya
kaidah-kaidah ilmu. Arti ini digunakan di dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat
127 dan surat An-Nahl ayat 26 berikut ini:
Artinya: Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama
Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan
kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS. Al-Baqarah: 127).
Artinya: Sesungguhnya
orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan makar, maka Allah
menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh
menimpa mereka dari atas, dan datanglah adzab itu kepada mereka dari tempat yang
tidak mereka sadari (QS. An-Nahl: 26).
Dari kedua ayat tersebut bisa
disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas atau fondasi, tempat yang diatasnya
berdiri bangunan.[2]
Pengertian kaidah semacam ini
terdapat pula dalam ilmu-ilmu yang lain, misalnya dalam ilmu nahwu/grammer
bahasa arab, seperti maf’ul itu manshub dan fa’il itu marfu’. Dari sini ada
unsur penting dalam kaidah yaitu hal yang bersifat kulli (menyeluruh,
general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya.[3]
Kaidah-kaidah fiqh dapat
dikatagorikan menjadi dua jenis. Pertama, kaidah yang benar-benar asli dari
segi kediriannya (al-ashl fi dzatihi) dan bukan cabang dari sebuah
kaidah fiqh yang lain. Kedua, kaidah yang merupakan subdividen (cabang) dari
yang lain. Jenis pertama disebut sebagai kaidah-kaidah fiqh induk, sedangkan
jenis yang kedua disebut sebagai kaidah-kaidah makro (al-qawa’id
al-fiqhiyyah al-kulliyyah), sebab ia masuk di bawah klasifikasi
kaidah-kaidah fiqh induk dan ia menghasilkan cabang-cabang masalah fiqh yang
sangat banyak dan tidak terhitung jumlahnya dari segi cakupan objek
pembahasannya.[5]
Qawa’id Al-Kulliyah yaitu qawa’id
yang menyeluruh yang diterima oleh madzhab-madzhab, tetapi cabang-cabang dan
cakupannya lebih sedikit dari pada qawa’id yang lalu. Seperti kaidah : al-Kharaju
bi adh-dhaman / Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung
kerugian, dan kaidah : adh-Dharar al- Asyaddu yudfa’ bi adh-Dharar
al-Akhaf Bahaya yang lebih besar dihadapi dengan bahaya yang lebih ringan.[6]
B. Hukum Qawâ’id Al-Kulliyah
Secara lebih rinci hukum kulli ini bisa
diklasifikasikan menjadi dua:
1.
Qa’idah
Kulliyyah
Qa'idah Kulliyyah (kaidah global) adalah hukum syara', yang
kepadanya berlaku batasan-batasan hukum syara' sebagai khithab Allah. Hanya
disebut demikian, karena disandarkan kepada lafadz-Nya, yang berbentuk kulli,
dan bukan kepada khithab-Nya. Namun demikian, masing-masing dihasilkan melalui
dalil-dalil syara'.
Artinya: “Sesuatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan
sesuatu, maka sesuatu tadi hukumnya menjadi wajib”.
Adalah hukum kulli atau
qa'idah kulliyah, yang digali dari dalalah al-iltizam (indikasi kausalitas)
seruan pembuat syariat yang manthuq (makna tersurat)-nya menunjukkan adanya kewajiban.
Artinya, jika ada seruan pembuat syariat menunjukkan wajibnya urusan tertentu,
maka seruan yang sama juga dengan dalalah al-iltizâm (indikasi kausalitas) sebenarnya
telah menunjukkan bahwa kewajiban tersebut tidak akan sempurna kecuali dengan
sesuatu, maka sesuatu tadi hukumnya menjadi wajib .
Contoh lain kaidah kulli yang digali dari firman Allah.
Artinya: Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan (QS. Al-An'am: 108).
2.
Ta'rif Syar'i
Kulli
Ta'rif syar'i juga merupakan hukum syara', karena digali dari
khithab pembuat syariat. Ia juga merupakan makna (madlul) dari seruan pembuat
syariat. Ia berbeda dengan kaidah, karena ta'rif merupakan deskripsi realitas
hukum. Meskipun masing-masing disebut hukum kulli, karena lafadz yang menjadi
sandarannya berbentuk kulli. Dalam hal ini, ta'rif syar'i bisa diklasifikasikan
menjadi:
a.
Deskripsi hukum
itu sendiri, yaitu definisi syara' yang mendeskripsikan hukum itu sendiri. Misalnya definisi Ijarah (kontrak jasa), yaitu akad terhadap jasa tertentu
dengan sebuah kompensasi. Definisi ini menjelaskan hukum ijarah sebagai hukum
syara' taklifi yang mubah, karena itu dikatakan bahwa definisi tersebut
menjelaskan hukum itu sendiri. Ini digali dari nash al-Qur'an:
Artinya:
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya (QS.
At-Thalaq: 6).
b. Deskripsi perkara yang dituntut oleh hukum, dimana perkara tersebut
menjadi sandaran terealisasikannya hukum, atau sandaran kesempurnaannya.
Misalnya, definisi mengenai 'Azîmah dan Rukhshah.[7]
Sebab utama para ulama membukukan kaidah-kaidah kulliyah, karena para muhaqqiqin telah mengembalikan segala masalah fiqh kepada kaidah-kaidah kulliyah. Tiap-tiap kaidah itu, menjadi dhabith dan pengumpul bagi
banyak masalah. Kaidah-kaidah tersebut diterima oleh segala pihak,
diiktibarkan dan dijadikan dalil untuk menetapkan masalah.[8]
BAB III
A. Kesimpulan
1.
Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan
kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak
sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi. Bahkan
Ibnu Abidin (w.1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w. 970 H) dalam
kitab al-asybah wa al-nazhair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah
sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari padanya hukum.
Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi di dalam kitabnya al-asybah wa al-nazhair, mendefinisikan
kaidah adalah Hukum kulli (menyeluruh, general) yang meliputi bagian-bagiannya.
2.
Dari segi terminologi kaidah punya
beberapa arti, menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan
bahwa kaidah itu adalah: "Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh
diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak". Sedangkan mayoritas
Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan : "Hukum yang biasa berlaku yang
bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya".
3. Qawa’id
Al-Kulliyah yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima oleh madzhab madzhab,
tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada qawa’id yang lalu.
[1]
http://gudangmakalahmu.blogspot.com/2012/12/makalah-qawaid-al-kulliyah.html diakses pada tanggal 20 Maret 2014
[2]
http://arjonson-abd.blogspot.com/2009/08/qawaid-fiqhiyyah-dan-qawaid-ushuliyyah.html diakses pada tanggal 20 Maret 2014
[4] robidarmawan.blogpot.com/2010/10-makalah-kaidah-fiqih.html
diakses pada tanggal 20 Maret 2014
well
BalasHapusBet9ja - Youtube - videodl.cc
BalasHapusBet9ja. Bet9ja is the official betting platform in South Africa. How Bet9ja works: 유튜브 Online gambling platforms allow you to gamble